“Assalamu’alaikum adikku Evi” sapa salah satu kakakku dari majelis taklim.

“Wa’alaikum salam kak. Ada apa kak, tumben nelpon?”

“Besok ada kegiatan ngga? Kakak mau minta bantuan untuk menggantikan teman kakak sebagai pengawas ujian. Kalau evi mau nanti no HP evi kakak kasih ke beliau. Dia ada urusan yang penting” jawab kakak penuh harap cemas agar aku menyetujuinya.

Berpikir sejenak-kesempatan ini belum tentu datang untuk kedua kali, jadi harus diambil pengalaman yang bermanfaat ini demi ilmu dan wawasan, maka kuberkata padanya dengan optimis, “OK kak. Insya Allah Evi bisa!”

Setengah jam kemudian, teman kakakku itu telpon dan mengatakan besok aku mengawas ujian jam 07.25 dan sebelum jam dimulai harus hadir tepat waktu karena sekolah itu terkenal disiplin, bersih dan rapi.

Tiba sampai di yayasan tersebut, mulailah kumencari gedung mana untuk SMU, Universitas, dll. Setelah bertanya dengan pak Satpam, aku langung masuk ke gedung SMU lalu menuju ke ruangan guru. Semua terasa asing bagiku. Karena aku belum pernah merasakan menjadi seorang guru di sekolah.

Akhirnya dengan senyum manis, aku langsung menyapa, "Selamat pagi Pak, saya mau mencari Kepala Pengawas di sini. Saya adalah pengganti dari Pak Bambang (bukan nama sebenarnya)."

Wah, subhanallah ternyata kekuatan senyum, ramah tamah dan sopan santun dalam bertingkahlaku membuat saya diterima dengan baik dan dihormati ibu dan bapak guru di sekolah tersebut. Mereka pun langsung ajak berbicara dan mulailah bercakap-cakap antara sesama guru tentang perilaku siswanya, kondisi jalan macet akibat maraknya penduduk ikut CPNS Daerah, serta ada yang ngobrol sambil baca koran.

Jadi ingat sebuah hadist Rasulullah SAW yaitu Senyum adalah sedekah, karena orang yang tersenyum adalah orang yang mampu memberikan rasa aman dan rasa persahabatan pada orang lain. Senyum juga menggambarkan karakter kondisi si pemberi senyum bahwa ia mempunyai sifat lembut, ramah, dan bersahaja. Untuk memotivasi para sahabat, suatu hari Rasulullah SAW berpesan, "Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain." (HR Muslim).

Tiba-tiba ada seorang ibu menyapaku : ‘Ibu, istrinya pak Bambang ya?”

Dengan wajah terkejut dan spontan aku langsung jawab : “Bukan Bu, saya temannya yang menggantikannya sementara”.

“Ada-ada aja, dakukan masih single alias belum menikah hehehe..”, jawabku dalam hati sampai tersenyum kepada ibu bapak di ruangan tersebut.

***

Ketika mulai naik lantai dua dan mulai mengawas. Ada keunikan terjadi. Yang pasti pada awal-awal pertemuan Evi panggil mereka dengan sebutan ‘Adek’, seharusnya kan ‘ibu dan anak’. ^_^. Yah begitulah jika kita belum membiasakan diri menjadi seorang guru.

“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” riuh suara serempak anak-anak yang sangat panjang. Saya langsung tersipu grogi dan membalas salam mereka dengan wajah senyum ceria. Lalu berdo’a.

"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya.."

Setelah soal dan kertas jawaban dibagikan. Ada seorang siswa mengacungkan jarinya dan berkata: “Bu, soal nomor 21 nggak ada pertanyaannya”

“Ya dek, ntar ibu keluar dulu akan ibu tanyakan ke dosen, ehh guru di sini”, wah seperti biasa siswa senang aja jika gurunya meninggalkan ruangan. Tapi terlintas baru sadar, “kenapa tadi aku panggil ‘dek’ ya?” :D

Ujian pun berlangsung dengan suasana sunyi senyap. Ketika 15 menit sebelum dikumpul kertas jawaban, Evi ingati siswa-siswa untuk periksa ulang kertas jawaban-apaakah sudah terisi semua dengan baik atau tidak. Sepintas mulailah mulut ini bercerita dan menyampaikan wejangan pagi hari di depan murid kelas dua.

“Sebenarnya tadi ibu tahu kalian banyak tanya sana sini, tapi apa manfaatnya buat masa depan kalian. Tidak ada kan. Sebelumnya, Ibu ingin memperkenalkan diri, Ibu disini adalah pengganti guru sementara kalian—Pak Bambang. Ibu baru lulus dari UI jurusan teknik elektro dan saat ini sedang menempuh S2 —pascasarjana USU— jurusan teknik elektro juga.

“Wahhhh...” Wajah anak-anak terlihat takjub saat kuceritakan latar belakangku karena mereka juga ingin masuk perguruan tinggi favourite mereka masing-masing. Sesaat kemudian mereka langsung menunduk dan diam seperti sedang merenungi sebuah impian masa depan.

“Siswa-siswaku, jika kalian tanya ibu tentang pelajaran Biologi, insya Allah ibu masih kuasai. Soal-soal yang kalian jawab itu, juga ibu masih bisa jawab dan menjelaskannya seperti tentang simbiosis, mitosis, virus, spora, ilmu genetika, dll. Semua itu ibu masih ingat. Anak-anakku mau tau resepnya apa?”

“Mau.. Mau.. Buuuuuuu...” , jawab seluruh murid dengan antusias.

“Karena ibu saat sekolah dulu memahami ilmu dan konsepnya. Ibu paham i pelajaran tersebut. Jadi sampai kapanpun, berapa pun usia kita, kita masih ingat di buku apa, halaman berapa? Walaupun jurusan ibu fisika. Apakah kalian takut nilai rendah? Dulu nilai fisika ibu selalu merah tapi mengapa ibu bisa ambil jurusan elektro yang sebagian besar adalah fisika karena ibu merasa ‘tertantang’ untuk mendalami ilmu tersebut dan ada keinginan untuk terus belajar serta bertanya pada orang yang tahu. Sering-sering berdiskusi siswaku. Hanya satu pesan ibu, janganlah kalian pelit ilmu sama teman kalian sendiri. Karena ilmu itu adalah sinar yang akan terus menerangi. Semakin banyak kalian memberikan ilmu, maka semakin banyak pula ilmu kalian. Selain ilmu kalian mau pahala juga kan yang akan mengalir terus menerus dari Allah?”

“Mau Buuuuu”, semua murid-murid menjawab serempak dengan suara cukup keras dan wajah ceria setelah mendengar cerita itu.

“Tapi ibu besok ngawas lagi kan” kata beberapa orang anak kepadaku

“Alhamdulillah, besok ibu tidak mengawas lagi.”

Selintas kumelihat wajah sedih mereka. “Betapa mereka ini sebenarnya adalah generasi yang cerdas dan bercahaya apabila dididik dengan pola yang benar. Mereka adalah generasi LUAR BIASA jika guru meyakinkan kepada mereka bahwa mereka adalah yang terbaik.”

Tak terasa bel berbunyi. Semuanya pulang dengan tertib dan menyalamiku layaknya seorang anak kepada ibu kandungnya. Senangnya kumelihat mereka.

Sembari salam, ada beberapa anak yang berucap, “Ibu, aku ingin jadi seperti Ibu. Doakan aku ya bu.”

Terharu batinku mendengar ucapan yang keluar dari anak-anak yang masih muda itu. Semoga Allah selalu menjaga mereka dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.

(bersambung, insya Alloh)

***

Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.

Evi Andriani

Comments (0)