15 menit lagi jam menunjukkan angka 10, saat dimulainya anak-anak SMU ujian. Semua guru -termasuk diriku- pada sibuk beranjak dari tempat duduknya di ruang guru dan mengambil soal ujian serta kertas jawaban di meja ketua pengawas.
“Masya Allah, aku dapat mengawas di lantai 4. Bagaimana ini? Dokter melarangku terlalu capek dan naik tangga yang tinggi, apalagi sampai melangkahkan kaki hingga ke lantai 4.” Aku bercakap-cakap dengan diriku sendiri.
Dengan mengucapkan bismillah, aku tekadkan azzam dan berpikir positif bahwa aku bisa sampai ke lantai teratas itu dengan keadaan sehat dan afiat. Aku tidak boleh ragu, Karena ragu akan membuat setan mudah mempermainkan hati manusia. Tetap yakin, ridha dan tawakkal bahwa Allah selalu bersama setiap insan yang mengingat-Nya.
Alhamdulillah perlahan-lahan melangkah tapi pasti sambil berbicara dengan para guru hingga akhirnya sampai juga ke lantai 4.
Seperti biasa aku masuk ke dalam ruangan kelas dan berusaha untuk duduk dan menatap semua wajah siswa-siswa di depanku dengan wajah tenang. Tapi sayang, langit tak selamanya cerah, begitu juga suasana kelas ini berbeda jauh saat aku mengawas pada kelas pertama.
Guru sudah berada di depan kelas, siswa masih asyik lempar kertas kesana-sini, ngobrol sana-sini -ribut banget macem pasar aja-, belum lagi masih ada yang jalan sana-sini.
“Ehm..ehm...”, akhirnya aku mulai mengeluarkan suara ‘pura-pura’ batuk untuk menyindir mereka. Sebenarnya aku ingin marah sekali, tapi aku berusaha untuk sabar. Setelah itu semua siswa duduk pada tempatnya tapi tetap aja masih ribut dengan gaya duduk di kursi bak seorang preman pasar. Wanita ataupun laki-laki sama saja. Etikanya benar-benar minus banget.
Dengan tenangnya aku bertanya pada semua siswa, “Anak-anak, siapa ketua kelasnya di kelas ini untuk memimpin do’a agar segera dimulai pelaksaan ujian ini”
“Diaa... Buu.. Diaa Bu.., Diaa.. Buuuu” Jawab serempak anak-anak saling lempar tunjuk siapa ketua kelasnya.
Dengan sabar dan wajah senyum, bibir ini pun berucap,”jika tak segera dimulai nanti kalian ketinggalan waktu untuk menjawab soal”. Akhirnya ada seorang siswa mengalah dan memulai memimpin doa. Setelah itu mengucapkan salam.
“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” terdengar suara lantang siswa-siswa yang semangat mengucapkan salam.
"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya". Saat membacakan peraturan dalam kelas, masih aja ada siswa yang cerita sana-sini, sepertinya siswa tersebut tidak menganggap ada seorang guru di depan.
“Oh ya Allah, berilah hamba kekuatan dan kelapangan hati agar dapat mengatasi kenakalan remaja di kelas ini”
Aku berusaha tidak marah —walaupun dulu guruku waktu SD, SMP atau SMA sering memukul meja atau penggaris kayu yang dipukul ke papan tulis agar siswanya menjadi diam— tapi aku tidak mau melakukan hal itu pada siswa yang masih belia ini —kelas 1 SMA— karena aku teringat betapa lembutnya para rasul saat berdialog dengan kaumnya dimasa Jahiliyah. Nabi Muhammad saw sendiri saat awal berdakwah dihadapkan pada siksaan dan tindakan represif dari kaum musyrikin tapi beliau selalu menanamkan kasih sayang dan kedamaian bahkan beliau sampai mengeluarkan kata-kata yang menggugah,
“Aku tidak diutus menjadi tukang laknat. Aku diutus sebagai penyebar rahmat.” (HR. Muslim, No. 1852)
Saat ujian di mulai, semua dalam keadaan tenang. Kecuali satu siswa yang namanya masih kuingat hingga sekarang -Sarmayanta-. Dia siswa yang benar-benar sudah kelewat batas kenakalannya. Walaupun ada guru masih tetap saja mengganggu temannya untuk meminta jawaban. Ingin sekali kuusir dia agar tidak menggangu teman di sebelahnya atau dibelakangnya yang menjadi kunci jawaban baginya.
Karena udah kesal melihat sikapnya, akhirnya kupanggil namanya dengan nada cukup ramah, “Sarmayanta, sudah selesaikah menjawab soal. Kalau sudah selesai sini kumpul sama ibu lembar jawaban dan soalnya”.
“Belum buuu..”, dijawabnya dengan suara lantang dan tatapan tajam seolah-olah dia lebih hebat, lebih tua dari diriku. “Masya Allah, sabarkan hamba ya Rabb.”
Tiada cara lain, maka aku harus ambil langkah terakhir. Akhirnya kubalas tatapannya dengan tatapan lembut dan penuh senyuman di wajahku. Subhanallah, benar-benar kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Si Anak Nakal itu langsung tertunduk malu. Tiap dia menatap kepadaku —karena ingin mencari kesempatan bertanya sama temannya yang lain tentang kunci jawaban di saat-saat aku lagi menunduk atau membaca—, aku pun selalu memandangnya. Mukanya menjadi merah, menunduk, cara duduknya pun mulai berubah menghadap ke depan, bukan duduk kesamping lagi dengan kaki di atas kursi.
Alhamdulilah ya Rabb, benar-benar kedahsyatan dari kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Kalau sudah seperti ini, akhirnya kupandangi satu persatu wajah siswa-siswa yang sedang menjawab pertanyaan. Karena aku tidak mau marah, lebih baik ketika mereka bertanya ke teman yang lain aku pandangi mereka dengan wajah ramah penuh senyuman. Hal tersebut membuat mereka membalas senyumanku dan tertunduk malu. Karena mereka tahu apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang salah ketika ujian.
*senangnya diriku melihat siswaku tersenyum dengan penuh rasa cinta*
Menjelang 15 menit sebelum waktu selesai, aku memperkenalkan latar belakangku pada semua siswa -sama seperti yang kulakukan saat aku mengawas pada kelas sebelumnya. Akan tetapi, untuk siswa model seperti ini ‘bandel bin jogal’ alias ga bisa diatur, aku lebih dulu mengajak mereka bermain bersama agar pikiran mereka refresh bahwa belajar itu menyenangkan.
Mulailah aku menunjuk satu persatu siswa dengan jariku dan bertanya apa cita-cita mereka di masa depan.
“Dokter bu...”
“Orang berguna bu..”
“Guru bu...”
“Arsitek”
“Nah, kalau Sarmayanta cita-citanya apa?”, sapaku pada anak yang cukup nakal itu dengan wajah ceria dan senyum.
“Tukaang Beeeccaaakkk buuuu...”, jawabnya penuh optimis dan antusias
“Ha ha ha ha ha ha ha ha ha”, semua siswa serempak ketawa termasuk diriku yang tersenyum mendengarnya berkata demikian. Kok bisa tukang becak dijadikan cita-cita.
Tapi selanjutnya aku berkata padanya, “Tidak apa-apa bila ingin menjadi tukang becak, asal jadi pengusahanya. Sarmayanta memiliki banyak becak yang bisa diusahakan kepada yang lain. Itu baru ya namanya cita-cita. Kerenkan, Sarmayanta bisa menjadi bos”
“Iya, benar juga yang dikatakan ibu”, kata beberapa siswa di kelas tersebut.
Semua mata tertuju padaku dengan wajah takjub. Dan kulihat senyuman terukir di wajah anak nakal itu. Alhamdulillah kubisa meraih simpatinya.
Setelah itu aku mulai memperkenalkan siapa diriku dan mereka semakin semangat. Karena mereka ingin lulus kelak masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Sebelum seluruh siswa keluar, aku bertanya pada mereka tentang mengapa mereka harus sampai menjawab soal itu semua dengan berbagai cara. Ternyata alasannya ‘takut’ nilai rendah dan menjadi ‘tinggal kelas’. Dengan spontan dan antusias aku berkata,
“Kalian tidak akan tinggal kelas anakku. Guru kalian tidak akan buat kalian tinggal kelas hanya karena nilai rendah, yang terpenting adalah kalian selalu hadir, rajin dan tekun belajar. Nilai ibu merah untuk fisika, tapi ibu tetap semangat terus mempelajarinya. Kalian mau tau teknik agar bisa seseorang itu di banggakan guru dan kalian menjadi cerdas?”
“Mau buuuu...”, seluruh siswa jawab dengan riuh dan semangat juang yang tinggi.
“Kunci cuma satu. Berlatih. Kalian jawab semua tugas yang ada di buku. Contoh: soal matematika, fisika, dll. Jadi ketika guru bilang, kerjakan no sekian? Siapa yang bisa mengerjakannya di papan tulis akan dapat bonus nilai. Nah, karena kalian telah kerjakan di rumah, maka kalian bisa menjawabnya serta menjadi orang yang pertama maju ke depan kelas sehingga membuat guru sayang pada kalian karena kalian cerdas. Itulah sebuah usaha. Jangan lupa disertai juga dengan do’a kepada Allah swt”, aku berkata dengan penuh semangat optimis dan ramah kepada semua siswa.
Alhamdulillah, semua siswa keluar dengan tertib, hanya tinggal satu orang anak wanita sambil menunjukkan buku biologinya padaku: “Bu, tadi saya lupa pengertian tentang biokatalisator dan apa-apa saja yang dihasilkan dalam proses fotosintesis”
Dengan senyuman kujawab, “catatlah soal-soal dan jawaban yang dirasa sulit atau tidak dapat saat ujian di buku catatan kecil. Karena ini akan menjadi memori yang tidak bisa dilupakan dan lihatlah dengan jeli setiap soal itu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti jenis virus, bentuk virus, jenis-jenis jamur yang biasa kita makan sehari-hari dan”.
“Makasih ya bu dan mohon do’akan saya bu agar saya kelak bisa menjadi seorang dokter”, tutur anak wanita yang manis dan cantik tersebut padaku. Sungguh aku terharu mendengar ucapannya. Walaupun cuma sehari tapi cukup mengesankan bagiku. Subhanallah.
Selanjutnya aku ke ruang guru mengantar semua berkas dan permisi kembali kepada Ketua Pengawas bahwa tugas saya selesai. Bahagia hati ini karena semua guru ikut ramah padaku dan tersenyum.
Sungguh senyum itu membawa berkah. Senyum juga mendatangkan kelembutan dan sikap ramah kepada manusia. Jiwa kan tenang. Hati menjadi tentram. Jika kita memiliki sikap itu maka dapat membuat hati yang keras menjadi lunak, manrik simpati, membawa kebaikan serta membuat nyaman orang yang berada di dekat kita.
(Selesai)
***
Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.
Evi Andriani
Comments (0)